Tentang Bapak

November 12, 2014 § 2 Comments

Andai saja di linimasa Twitter tak ada yang membicarakannya siang tadi, saya tak akan tahu bahwa hari ini, 12 November, adalah Father’s Day. Barangkali saya pernah tahu, dulu, tapi tak begitu menaruh perhatian hingga mengendap di ingatan begitu saja, sama seperti peringatan hari-hari lainnya.

Sialnya, karena Father’s Day  ini, yang kebetulan akhirnya saya tahu dan kebetulan juga saya sedang memiliki waktu senggang, saya mendadak rindu pada bapak. Rindu yang datang terlampau dini, saya rasa. Padahal, baru sebulan lalu saya melepas jabat tangan dan berpamitan kepadanya. Padahal, baru dua hari lalu kami saling bertukar kabar.

Tapi sepertinya memang demikianlah rindu bekerja. Kadang datang teratur, namun lebih sering prematur.

Bapak saya adalah pria yang luar biasa. Bapak terbaik sedunia.
Oke, semua orang pasti akan mengatakan hal yang sama tentang bapaknya. Tapi saya tak sedang membual.

« Read the rest of this entry »

Saya, Bekasi, dan Sebuah Permainan

October 23, 2014 § Leave a comment

#1
Bagaimanapun juga saya harus mengakui bahwa saat ini saya adalah warga Bekasi. Satu setengah tahun rasanya sudah cukup untuk menahbiskan diri saya sendiri sebagai bagian dari kota satelit Jakarta ini. Maka ketika beberapa waktu lalu Bekasi menjadi bulan-bulanan di jejaring sosial, saya merasa perlu untuk, maafkan saya, ikut mem-bully -nya.

Saya bukannya latah atau sekadar ikut-ikutan. Toh, bukan belakangan ini saja saya mengeluarkan sinisme semacam itu. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bekasi akhir April tahun lalu, saya sudah dibuat geleng-geleng kepala melihat carut-marut lalu-lintas kota patriot ini. Rambu-rambu tak sekalipun dihiraukan. Trotoar menjadi jalur cepat kendaraan beroda dua saat terjadi kemacetan. Lubang-lubang besar di jalanan menganga seperti mulut kelaparan. Angkot ngetem sembarangan. Bebunyian klakson menyalak kesetanan.

« Read the rest of this entry »

Tulisan yang Tak Selesai

February 10, 2014 § 4 Comments

Senin berangsur malam. Hampir saja saya lupa bahwa kemarin Sabtu saya sempat menaruh janji kepada pacar saya dan salah seorang temannya untuk berbagi cerita melalui sebuah tulisan. Padahal saya dan Cen, teman pacar saya tadi, tak cukup saling mengenal satu sama lain. Seperti biasa, diam-diam saya cerewet.

Semua bermula ketika pagi-pagi sekali pacar saya membagi sebuah link bacaan baru, tulisan dari Cen di tumblr-nya. Awalnya saya tak memedulikannya. Saya tahu betul, bahwa pacar saya akan lebih senang jika saya segera bergegas menuju stasiun untuk bisa menemuinya sepagi mungkin. Baru ketika saya sudah menaiki kereta commuter line, saya menyempatkan diri membacanya.

« Read the rest of this entry »

Salam Kenal!

January 21, 2014 § 1 Comment

Saya tak pernah memikulkan harapan yang besar dan muluk pada tulisan-tulisan yang saya buat. Ada orang yang bersedia menyempatkan diri barang sejenak untuk membacanya saja saya sudah senang bukan kepalang. Tak ada sedikitpun mimpi agar nantinya tulisan-tulisan itu membuat saya dikenang dan mengabadi seperti kata Pramoedya Ananta Toer meskipun musykil juga bagi saya untuk menyangkal ‘keabadian’ beliau berkat apa yang beliau tulis. Pun tak pernah saya membayangkan tulisan-tulisan saya dapat memengaruhi satu-dua orang, apalagi sampai mengubah dunia sebagaimana surat-surat R.A. Kartini yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon ke dalam Door Duisternis Tot Licht.

Saya sadar, tulisan saya tak mempunyai rangka yang kokoh untuk memikul harapan tersebut. Dan saya menulis memang sekadar karena saya ingin. Lha wong mulai menulis saja baru pada tahun terakhir saya berseragam putih abu-abu. Ketika itu saya ‘murtad’ dari kegemaran saya pada hal-hal matematis yang sudah lama sekali saya tekuni sejak masih kanak-kanak, lantas memilih literasi sebagai suaka pelarian. « Read the rest of this entry »

Diorama 2013

January 1, 2014 § Leave a comment

Kembang api telah padam. Petasan dan bebunyian terompet telah redam. Tak ada yang tersisa dari hiruk pikuk semalam, selain foto sampah yang berserak di sana sini dan kabar tentang laris manisnya penjualan tadah mani. Masih sama seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, barangkali juga tahun-tahun mendatang. Tahun baru disambut dengan cara-cara usang.

Hujan mengguyur Kota Bekasi tadi pagi ketika saya terbangun usai semalaman menyelesaikan deadline tulisan yang sebenarnya sudah ‘dipesan’ sejak beberapa hari lalu. Saya masih sama : menjadi seorang deadliner, dan tak begitu antusias membaur dalam kerumun seremonial satu tahun sekali itu. Bukankah setiap tanggal juga satu tahun sekali. Lagipula tanggal 29 Februari sebenarnya malah lebih akseptabel untuk dirayakan. Ia ada empat tahun sekali, bukan.

Yang berbeda dari saya hanyalah satu : saya sekarang di Bekasi –kota yang sedikitpun tak pernah saya bayangkan akan menjadi ‘rumah’ kesekian saya. Bukan Bantul, bukan juga Bintaro. « Read the rest of this entry »

Perempuan di Ujung Lintasan Rel

November 5, 2013 § 1 Comment

“Pesan telah aku terima, Hanoman. Sekarang pulanglah! Sampaikan kepada Rama, bahwa aku akan menunggunya. Tak peduli  berapa jarak yang rumpang dari hutan Dandaka hingga taman Argasoka. Tak peduli berapa purnama untuk menempuhnya. Aku akan menunggu.”

Begitulah kitab Sundarakanda bercerita tentang kesetiaan Sinta. Tentang jarak yang membentang beriring-berarak hanyalah satuan nisbi yang tak mutlak. Tentang kerelaan untuk menunggu kekasihnya tiba, meski ia tahu, rindu tak pernah memiliki rasa iba, acap kali datang tanpa aba-aba.

Bagaimana denganmu?
Adakah ragu yang berkelindan setiap kali kau bertopang dagu di bibir jendela mengkhidmati hujan : kita akan bertemu di mana dan kapan jika langkahmu tak segegas senapan? Adakah syak wasangka yang memperingkih lengan-lengan doamu yang tekun merengkuh ketika aku lemah oleh peluh dan keluh? « Read the rest of this entry »

Sebuah Erata

September 1, 2013 § 7 Comments

Andai saja aku seperti itu, niscaya aku akan ….

Ah, apa-apaan ini? Mari kita sudahi omong kosong ini, Git. Aku tak mau lagi mendengarnya. Tak cukupkah kamu –seperti halnya aku dan orang-orang lainnya– dibuat jera oleh bualan semacam itu, menggadai sebuah andai yang tak jarang hanya lebam dan memar di hati yang mampu untuk menebusnya.

Git,
Tentunya kamu tahu, bahkan lebih tahu daripada aku, bahwa ini bukanlah sepenggal Wanaparwa dalam epos Mahabharata, di mana Pandawa beserta Drupadi harus menjalani 12 tahun pengasingan ke antah berantah. Menepi dari hingar bingar kehidupan istana, makan minum seadanya, mengenakan pakaian dari kulit pohon yang entah apa namanya. Sementara bala Kurawa bisa hidup dengan penuh gelak tawa di Astinapura. Makan minum enak, tidur nyenyak, pakaian bersepuh serbaemas, bernyanyi dan menari bersama gadis-gadis tanpa sedikitpun rasa cemas.
Ini bukan tentang siapa yang pantas dan tidak.

« Read the rest of this entry »

Where Am I?

You are currently browsing the Gumam dan Igau category at .