Amelia
January 4, 2014 § Leave a comment
“Bagaimana kabar ibumu di rumah, Lia?”, tanya lelaki dengan wajah penuh keriput itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah gadis yang berada persis di samping kirinya.
Gadis itu bernama Amelia. Orang-orang terdekat biasa memanggilnya Lia. Beberapa yang lain memanggilnya Amel. Parasnya bersih dan rupawan, namun dingin seperti air wudhu di kala subuh. Rambutnya yang lurus legam seperti malam di musim penghujan dikucir kuda. Jika diurai, barangkali akan menjuntai hingga sebatas payudaranya yang bulat.
Mereka berdua, lelaki setengah uzur dan gadis kencur itu, bertemu tanpa sengaja beberapa jam yang lalu di meja nomor 14 di sebuah kafe di pusat kota.
“Ibu? Memangnya perempuan tua sakit-sakitan itu masih kau anggap penting untuk diketahui kabarnya?”, jawabnya ketus.
« Read the rest of this entry »
Redup
January 19, 2013 § 2 Comments
Aku berjalan menuruni tangga kantor dengan tergesa. Setiap sore, jam pulang kantor seperti ini, lift selalu penuh. Aku hafal betul itu.
Sesekali sudut mataku melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kiriku. “Lima lebih dua”, gumamku.
Sepulang kantor ini aku ada janji dengan Tiara, sahabatku, di Rocketz Live Coffee, tempat kami berdua biasa melepas kepenatan. Ya, kami hanya sahabat. Setidaknya itu status yang dia minta meski aku pernah mengungkapkan keinginanku untuk menjadi lebih. Bodohku memang, karena saat itu aku sendiri sadar bahwa dia telah memiliki Angga.
Siang tadi, mendadak Tiara meneleponku. Tak jelas apa tujuannya memintaku menemuinya sore ini. Dia hanya bilang ingin ketemu dan cerita, seperti biasa. Tapi dari suaranya, aku bisa menebak bahwa dia baru saja menangis.
“Dit! Radit!”. Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita memanggil-manggil namaku saat hendak membuka pintu mobil. Aku kenal pemilik suara ini. Kusempatkan diri menoleh. « Read the rest of this entry »
Hujan Kesekian
October 1, 2012 § 2 Comments
Sore ini hujan turun dengan tergesa. Langit tak mau berlama-lama memuramkan durja, sementara guntur tak sempat memberi aba-aba. Rintik demi rintik air rontok begitu saja.
September yang basah akhirnya tiba membawa pulang cendera mata yang selalu khas. “Petrichor”, begitu putriku sering menyebutnya. Tanah yang tadinya kering kerontang mendadak basah menggenang.
Sejak dulu setiap kali hujan tumpah, aku selalu seperti ini, duduk mengkhidmatinya dari balik jendela atau teras rumah. Sendirian, hanya ditemani segelas teh hangat hasil seduhanku sendiri. Sesekali ada sepiring bakwan atau pisang goreng melengkapi. Dan tentu, seporsi kenangan masa lalu yang siap ditelan mentah-mentah serta angan-angan masa depan yang telah diolah matang-matang tak pernah mangkir hadir.
Setidaknya, itulah yang terjadi sejak 20 tahun lalu setelah Mas Wira, suamiku, meninggal akibat kecelakaan yang dia alami dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat aku melahirkan putri pertama dan satu-satunya. Seorang putri yang selama ini diimpikan oleh Mas Wira. Maharani, nama yang kuberikan kepadanya persis seperti yang dulu Mas Wira inginkan. « Read the rest of this entry »
Sekat
June 8, 2012 § Leave a comment
“Yudha!”, suara perempuan dari balik pintu kamar mengalihkan perhatianku yang sedari tadi tertuju pada layar laptop di hadapanku.
“Masuk!”, jawabku sambil mengarahkan pandangan ke arah pintu.
Perlahan seorang perempuan berambut sebahu muncul seiring terbukanya pintu kamarku. Hera. Teman dekatku sejak awal aku kuliah dulu. Kami memang kuliah di jurusan yang berbeda meskipun masih satu kampus. Aku di jurusan Arsitektur, sementara Hera di jurusan Akuntansi. Tapi minat kami sama, sastra. Dan kala itu tanpa sengaja kami duduk bersebelahan dalam sebuah acara bedah buku yang diadakan di kampus. Sejak saat itu, kami menjadi teman dekat, teman berbagi cerita.
“Ada apa, Ra?”
“Kamu akhir-akhir ini ke mana aja sih, Yud? Dicari-cari ga ketemu, dihubungin juga susah.”, ujarnya dengan memasang muka sebel.
“Sori. Aku baru sibuk bimbingan dengan dosen, sama ngerjain skripsi. Ada apa sih?” « Read the rest of this entry »