Tentang Bapak

November 12, 2014 § 2 Comments

Andai saja di linimasa Twitter tak ada yang membicarakannya siang tadi, saya tak akan tahu bahwa hari ini, 12 November, adalah Father’s Day. Barangkali saya pernah tahu, dulu, tapi tak begitu menaruh perhatian hingga mengendap di ingatan begitu saja, sama seperti peringatan hari-hari lainnya.

Sialnya, karena Father’s Day  ini, yang kebetulan akhirnya saya tahu dan kebetulan juga saya sedang memiliki waktu senggang, saya mendadak rindu pada bapak. Rindu yang datang terlampau dini, saya rasa. Padahal, baru sebulan lalu saya melepas jabat tangan dan berpamitan kepadanya. Padahal, baru dua hari lalu kami saling bertukar kabar.

Tapi sepertinya memang demikianlah rindu bekerja. Kadang datang teratur, namun lebih sering prematur.

Bapak saya adalah pria yang luar biasa. Bapak terbaik sedunia.
Oke, semua orang pasti akan mengatakan hal yang sama tentang bapaknya. Tapi saya tak sedang membual.

Di usianya yang menginjak setengah abad, bapak masih mampu menjalani peran heroik di mata saya. Memang, pekerjaannya ‘hanya’ membantu ibu berjualan di pasar. Tepatnya ‘hanya’ bangun sebelum Subuh dikumandangkan, menyesap beberapa batang rokok kretek, lalu mengangkuti dagangan ke dalam colt  sebelum dibawa ke pasar dan diturunkan lagi untuk ditata di (orang-orang pasar biasa menyebutnya) dasaran. Kemudian sekitar pukul sembilan pagi pulang mengambil tambahan barang dagangan dan menyempatkan diri memberi makan hewan-hewan peliharaannya sebelum kembali ke pasar.
Ya, bapak punya hobi memelihara berbagai macam piaraan. Ayam, entok, bebek, merpati, ikan hias, kutilang, hingga kumis dia pelihara.

Bapak seperti tak pernah mengenal lelah. Meski sudah seharian menjadi ‘kuli’ sekaligus bakul bersama ibu di pasar, di rumah masih saja mencari-cari kesibukan. Kalau saya boleh sombong, rumah kami 50% hasil bikinan bapak sendiri. Mulai dari batu bata, daun pintu, kursi, meja, lemari, teras, langit-langit rumah, bapak lah yang iseng membuatnya. Padahal rutinitasnya di pasar sudah lebih dari cukup untuk mengundang letih. Saya dan adik saya sering membantu bapak angkut-angkut dagangan, dan itu sangat melelahkan.

Satu lagi yang saya kagumi dari bapak. Dia dikenal sebagai orang yang guyub dan humoris. Setiap kali ada kerja bakti, hajatan, dan semacamnya, bapak tak sekalipun absen. Dia selalu menyempatkan diri hadir. Dan bapak tak pernah lupa membawa canda dan tawa untuk dinikmati bersama-sama di sana. Sesuatu yang sepertinya hanya sedikit saja diturunkan kepada saya dan adik.

Bapak memiliki tubuh yang tak begitu besar, tapi berotot. Bibirnya kebiruan akibat candu rokok. Sehari bisa habis satu bungkus lebih, mentang-mentang tinggal comot. Kumisnya tebal, tipikal Menpora. Pantas sekali menjadi orang galak. Dan memang demikianlah adanya.

Ya, bapak galaknya bukan kepalang. Bahkan sewaktu kecil saya sangat takut sekaligus benci lantaran sering dimarahi setiap kali melakukan kesalahan, kuping dijewer kalau ngeyel, atau pantat dipukul dengan ranting karena menunda-nunda shalat. Tapi itu cerita lama. Semenjak saya masuk SMP, bapak tak pernah lagi melakukannya. Bapak lebih banyak mengungkapkan kemarahan dan kekecewaannya dengan cara yang membuat saya tak lagi sekadar takut tapi juga segan : diam.
Dan saya diam-diam berangsur mengaguminya. Diam-diam saya merindukannya.

Rindu ini, maksud saya tulisan ini, saya yakin, bapak tak akan pernah menemukan dan membacanya. Bapak masih jauh dari jangkauan internet. Jauh sekali. Sekisaran jarak yang hanya mampu dijangkau oleh doa sebagai penggantinya. Doa yang semoga Tuhan mau menghantarkannya di malam yang dingin ini kepada bapak.
Semoga…

§ 2 Responses to Tentang Bapak

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Tentang Bapak at .

meta