Saya, Bekasi, dan Sebuah Permainan

October 23, 2014 § Leave a comment

#1
Bagaimanapun juga saya harus mengakui bahwa saat ini saya adalah warga Bekasi. Satu setengah tahun rasanya sudah cukup untuk menahbiskan diri saya sendiri sebagai bagian dari kota satelit Jakarta ini. Maka ketika beberapa waktu lalu Bekasi menjadi bulan-bulanan di jejaring sosial, saya merasa perlu untuk, maafkan saya, ikut mem-bully -nya.

Saya bukannya latah atau sekadar ikut-ikutan. Toh, bukan belakangan ini saja saya mengeluarkan sinisme semacam itu. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bekasi akhir April tahun lalu, saya sudah dibuat geleng-geleng kepala melihat carut-marut lalu-lintas kota patriot ini. Rambu-rambu tak sekalipun dihiraukan. Trotoar menjadi jalur cepat kendaraan beroda dua saat terjadi kemacetan. Lubang-lubang besar di jalanan menganga seperti mulut kelaparan. Angkot ngetem sembarangan. Bebunyian klakson menyalak kesetanan.

Ruwetnya minta ampun. Para pengguna jalan ini mengingatkan saya pada umat yang membangkang dalam cerita-cerita nabi dan rasul semasa kecil dulu. Semua sibuk menyelamatkan diri dari kekacauan yang sebenarnya diciptakannya sendiri. Sementara di saat yang bersamaan, Pemerintah Daerah bersama para pengembang berlomba-lomba memancang beton seolah-olah Bekasi adalah semesta baru pasca kekacauan tadi, yang digawat-gawatkan untuk segera dibangun ini itu agar bisa ditinggali kembali. Di sini pusat perbelanjaan tumbuh subur, setali tiga uang dengan apartemen dan perumahan. Menemukan area hijau yang layak jauh lebih susah daripada mencari panti pijat dan spa. Saya hampir berpikir bahwa beton-beton tadi merupakan tumbuhan endemis di sini karena lebih dipelihara dan dilindungi eksistensinya daripada tumbuhan dalam arti sebenarnya.

Alhasil, tak sulit untuk menebak kelanjutan ceritanya. Udara menjadi kotor? Tentu saja. Air permukaan semakin keruh? Sudah pasti. Cuaca panas menjerang? Tak salah lagi. Musibah banjir melanda? Sudah biasa.

#2
Jika belakangan ini saya absen menulis, itu bukan lantaran (planet) Bekasi tak terjangkau sinyal internet sehingga saya tak bisa mem-posting  tulisan. Jelas bukan. Kota sehebat Bekasi mana mungkin demikian. Saya bisa jamin itu.

Saya hanya sedang keranjingan sebuah game  strategi berplatform iOS dan Android bernama Clash of Clans. Orang biasa menyebutnya dengan CoC. Sudah barang tentu jika game  bikinan Supercell ini tak asing lagi di telinga. Lha wong sudah diunduh oleh setidaknya lebih dari 50 juta kali kok. Kebangetan kalau sampai tak tahu. Apalagi tahun lalu CHIPS telah menempatkannya sebagai salah satu game  terbaik di perangkat Android.

Basis dari game  ini sebenarnya sederhana : disediakan sepetak desa untuk dibangun dan ditata sedemikian rupa. Hanya saja, selanjutnya permainan menjadi berangsur pelik dengan adanya kenaikan level demi level serta terjadinya saling serang antardesa demi memperebutkan kekayaan atau tropi. Terlebih jika sudah bergabung ke dalam suatu klan. Di sini lah letak serunya hingga menjadi begitu adiktif.

Awalnya saya hanya iseng ketika akhir Mei lalu mulai memainkannya. Lama-kelamaan saya tekuni karena memang tak ada permainan lain yang menarik di perangkat Android saya. Hingga akhirnya setiap kali ada waktu luang saya selalu menyempatkan diri mengurusi desa khayalan saya itu. Entah itu ketika terjaga tengah malam, sarapan di kantin kantor, di sela-sela penat kerja, atau di dalam angkutan umum. Kapanpun. Sampai-sampai pacar saya sering ngambek  karena sengaja saya tunda untuk membalas pesan Whatsapp-nya kalau sedang asyik dengan CoC.

‘Kesibukan’ baru tadi membuat saya merasa seperti dihinggapi rasa malas yang kepalang brengsek hingga untuk sekadar menghela napas panjang sejenak lalu menekankan jari pada tuts keyboard pun tak pernah terlaksana.

#3
Bukan suatu yang mengherankan jika di jejaring sosial sebuah kota dengan hegemoni tinggi seperti Bekasi bisa menjadi bahan bulan-bulanan khalayak. Jogja pun pernah (dan masih) mengalaminya dengan adanya “Jogja Ora Didol” dan “Jogja Berhenti Nyaman”

Sebagian orang boleh saja menganggapnya sebagai lucu-lucuan semata. Namun sebagian lain, mau tak mau harus menanggapinya dengan serius dan bijaksana. Tak ada asap jika tak ada api, bukan?

Di Jogja, misalnya. Kedua tagar tadi muncul bukan tanpa sebab. Semenjak Haryadi Suyuti menjabat sebagai walikota menggantikan Herry Zudianto, Jogja berangsur hilang semangat Hamemayu Hayuning Bhawana -nya. Pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan menjadi begitu pesat tanpa diimbangi penyediaan ruang publik baru yang cukup dan layak. Seakan izin pembangunan tersebut sedang diobral murah meriah demi mengisi kantong para pejabat. Hal itu membuat warga Jogja (dan orang-orang lainnya yang menaruh hati pada Jogja) merasa gerah. Kemudian lahirlah “Jogja Ora Didol”

“Jogja Berhenti Nyaman” malah secara lebih luas dalam mengkritisi ibukota imperium Ngayogyakarta Hadiningrat ini. Bukan semata mengenai pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan, namun juga kemacetan yang tak bisa lagi dielakkan, genangan air (kalau tak mau disebut banjir) di beberapa titik kala musim penghujan, sampah visual makin tidak karuan, angka premanisme dan kriminalitas melonjak tajam, dan masih banyak lagi.

Ihwal membangun sebuah kota, sebenarnya bisa dibilang mirip dengan memainkan CoC. Sama-sama memberi hak penuh kepada penguasa tanah untuk menatanya. Sama-sama dibangun agar menghasilkan kekayaan melimpah sekaligus mampu bertahan dari serangan. Tanah yang disediakan pun sama-sama tak pernah bertambah luas.

Yang membedakan hanya satu : dalam game CoC pohon dan tumbuh-tumbuhan dianggap sebagai obstacles yang harus dihilangkan. Sementara dalam kenyataannya, ruang hijau bukanlah halangan. Pohon, tumbuhan, atau taman merupakan elemen penting yang tak terbantahkan.

Seperti yang saya bilang tadi, bullying sah-sah saja dianggap sebagai guyonan bagi sebagian orang. Tapi sebagian yang lain, mau tak mau harus menanggapinya dengan serius dan bijaksana. Pemerintah Daerah, misalnya.

Dalam hal ini, saya percaya betul bahwa Pemerintah Daerah Bekasi (dan Jogja) akan serius menanggapinya sebagai sebuah kritik dan masukan, bukan sekadar gelitik dan candaan.
Kecuali, kalau kota ini memang mereka anggap tak lebih dari sebuah permainan..

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Saya, Bekasi, dan Sebuah Permainan at .

meta