Diorama 2013

January 1, 2014 § Leave a comment

Kembang api telah padam. Petasan dan bebunyian terompet telah redam. Tak ada yang tersisa dari hiruk pikuk semalam, selain foto sampah yang berserak di sana sini dan kabar tentang laris manisnya penjualan tadah mani. Masih sama seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, barangkali juga tahun-tahun mendatang. Tahun baru disambut dengan cara-cara usang.

Hujan mengguyur Kota Bekasi tadi pagi ketika saya terbangun usai semalaman menyelesaikan deadline tulisan yang sebenarnya sudah ‘dipesan’ sejak beberapa hari lalu. Saya masih sama : menjadi seorang deadliner, dan tak begitu antusias membaur dalam kerumun seremonial satu tahun sekali itu. Bukankah setiap tanggal juga satu tahun sekali. Lagipula tanggal 29 Februari sebenarnya malah lebih akseptabel untuk dirayakan. Ia ada empat tahun sekali, bukan.

Yang berbeda dari saya hanyalah satu : saya sekarang di Bekasi –kota yang sedikitpun tak pernah saya bayangkan akan menjadi ‘rumah’ kesekian saya. Bukan Bantul, bukan juga Bintaro.

Adalah PENG-199/PJ.01/UP.53/2013 musababnya. Waktu itu, Kamis sore, tanggal 4 April 2013, saya sedang asyik bermain game  bersama salah seorang kawan sembari menunggu jam pulang kerja yang tinggal hitungan menit. Tiba-tiba ponsel di saku berbunyi. Panggilan masuk dari seorang kawan lain yang sedang menjalani diklat prajabatan.
Ru, temen-temen yang lagi prajab tolong dilihatin penempatannya dong!“, katanya lugas. Saya yang sebelumnya malah belum mengetahui bahwa pengumuman penempatan telah keluar segera menengoknya.

Beberapa hari setelahnya menjadi hari-hari terakhir di mana kami berada dalam satu kantor. Selanjutnya, kami berdelapan menyebar ke penjuru nusantara, atas nama –katakanlah– pengabdian. Tiga orang di Jakarta dan masing-masing satu orang di Bekasi, Waingapu, Sumba Besar, Majene, dan Batulicin.

Perpisahan, seperti halnya cinta, acap kali datang tak tepat waktu. Padahal kami sedang akrab-akrabnya bergurau dan bercanda. Padahal petualangan kami mengeksplorasi tempat-tempat menyenangkan di Jogja belum seberapa. Padahal masih banyak rencana yang telah kami rancang bersama. Tapi apa boleh buat, kami telah di-baiat.

Sore itu juga, setelah dirasa cukup bertukar rasa dengan kawan-kawan dan memberi tahu orang tua, saya teringat sebuah janji untuk membagi kabar –yang entah saya harus menganggapnya baik atau sebaliknya ini– kepada seorang wanita yang saat itu saya damba, sekaligus menagih kepastian yang sebenarnya sudah bisa saya tebak sebelumnya. Panjang lebar kami berbicara, namun hanya kata “selamat” dan “maaf” yang benar-benar saya mengerti maksudnya.
Getir? Tentu saja.

Minggu, 28 April 2013, menjadi hari pertama saya menginjakkan kaki di Bekasi. Saya sendirian saja di sini. Pontang-panting lintang pukang ke sana kemari mencari indekos karena esoknya saya harus mulai masuk kerja. Beruntung waktu itu ada dua kawan yang membantu. Tepat ketika adzan maghrib berkumandang, alhamdulillah, saya mendapatkannya.

Hari-hari berikutnya saya lalui dengan sedikit berat dan agak membosankan. Jauh dari teman dan orang tua. Bekerja dengan banyak ‘atasan’ dan volume pekerjaan yang jauh melebihi sebelumnya. Ke mana-mana lebih sering jalan kaki, meskipun memang itu pilihan saya sendiri. Pulang kerja selalu menghabiskan malam dengan menyeksamai layar monitor laptop di dalam sepetak kecil indekos. Lalu paginya berangkat bekerja kembali dan bersiap menghadapi rutinitas yang sama. Begitu seterusnya.

Sungguh beruntung, saya bisa segera menemui kantin, lapangan futsal, dan ruangan seksi PDI. Di mana saya yakin di kantor-kantor rekan saya yang lain ketiga tempat tersebut memiliki ‘tupoksi’ sampingan yang sama : mengakrabkan dan mencairkan suasana. Toh, pada akhirnya saya mulai terbiasa dengan iklim baru seperti ini dan menikmatinya.

Akan tetapi, tahun 2013 bukan melulu soal hal-hal yang membikin rahang menegang dan tangan terkepal getir. Tahun ini saya juga mengalami lagi apa itu jatuh cinta. Dua kali, malah. Yang pertama, pada sebuah proyek kecil-kecilan di dunia tulis-menulis bersama rekan-rekan baru-tapi-lama. Baru, karena saya menganggap mereka sebagai teman memang baru-baru ini, kecuali satu orang saja. Lama, karena sebelumnya saya sudah kenal, atau sekadar tahu mereka. Padahal bisa dibilang saya masih amatiran bahkan apkiran di bidang ini. Entahlah.

Yang kedua, pada seorang gadis pencinta alam asal Jogja. Kami satu almamater, tapi beda spesifikasi jurusan. Usianya dua tahun lebih muda daripada saya. Rentang usia itu juga yang membuat kami tak saling kenal sebelumnya. Entah dengan dia, tapi awal kami berkenalan, yang saya tahu darinya hanyalah nama. Lambat laun sulur-sulur rasa mulai menjalar di antara kami, hingga sekarang ini.

Begitulah sekiranya 2013 saya. Masih membekas meski telah pungkas dan gelas-gelar bir perayaan tahun yang baru telah tandas. Detil demi detil kejadian masih jelas dalam ingatan, seperti diorama dalam monumen perjuangan.

“Every new beginning comes from some other beginning’s end.”
—Seneca

Ada rapal doa dan harapan yang panjang untuk 2014 yang masih kuncup ini. Tapi biarkanlah sunyi yang mengantarkannya ke telinga Yang Maha Mendengar dan Mengabulkan.
Bukan begitu, Tuhan?

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Diorama 2013 at .

meta