Amelia

January 4, 2014 § Leave a comment

“Bagaimana kabar ibumu di rumah, Lia?”, tanya lelaki dengan wajah penuh keriput itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah gadis yang berada persis di samping kirinya.

Gadis itu bernama Amelia. Orang-orang terdekat biasa memanggilnya Lia. Beberapa yang lain memanggilnya Amel. Parasnya bersih dan rupawan, namun dingin seperti air wudhu di kala subuh. Rambutnya yang lurus legam seperti malam di musim penghujan dikucir kuda. Jika diurai, barangkali akan menjuntai hingga sebatas payudaranya yang bulat.

Mereka berdua, lelaki setengah uzur dan gadis kencur itu, bertemu tanpa sengaja beberapa jam yang lalu di meja nomor 14 di sebuah kafe di pusat kota.

“Ibu? Memangnya perempuan tua sakit-sakitan itu masih kau anggap penting untuk diketahui kabarnya?”, jawabnya ketus.

“Tentu saja. Aku mencintainya. Mana mungkin aku mengabaikan kabar tentangnya. Terlebih lagi aku sudah lama tak mendengarnya.”

“Cinta katamu? Cih!”. Lia membuang muka.
“Apa istri barumu tak pandai memasak dan mengurus suami sampai-sampai kau mendadak teringat Ibu? Oh, jangan-jangan istri barumu ketahuan mengidap penyakit kelamin dan membuatmu jijik? Kau tentu tahu, Ibu bukan lagi istrimu yang bersedia menggeliat dan melenguh penuh gairah melayani birahimu. Ibu sudah tua, sama sepertimu dan istri barumu. Dan lagi, Ibu sudah lupa bahwa pernah mencintai lelaki brengsek sepertimu.”

“Tutup mulutmu!”. Nadanya meninggi. Lelaki tua itu mulai geram mendengar cerca lancang anak gadis semata wayang dari hubungan perkawinan dengan mantan istrinya.
“Tahu apa kau tentang istriku?!”, imbuhnya.

“Baiklah, aku memang tak tahu banyak. Yang aku tahu cuma sekadar bahwa sejak kau mengutarakan niatmu untuk memadu Ibu dengan janda itu, Ibu jadi tekun membasuh matanya dengan tangis setiap malam. Barangkali itu pula yang membuatnya lebih jeli memandangmu sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri ikatan denganmu.”

Seketika itu hening mengambil jeda perbincangan mereka. Keduanya bergeming dalam posisi masing-masing. Pagi masih begitu muda. Hawa dingin mulai menyelimuti tubuh ayah dan anak gadisnya itu.

Lia memang sangat membenci ayahnya, setidaknya sejak dia duduk di kelas 2 SMP. Ketika itu Pakde Jito, kakak dari ibunya, tak bisa lagi mengelak dari rengekan Lia yang terus-menerus mempertanyakan kabar ayahnya yang tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya sejak Lia masih berseragam putih-merah di tahun kelima. Lia sempat shock seketika setelah Pakde Jito menceritakan semuanya, bahwa ayah dan ibunya telah lama bercerai karena ibunya tak mau dimadu dengan janda kembang yang juga teman sekantor ayahnya.

Pantas saja ibunya mendadak pontang-panting mencari penghasilan waktu itu. Mulai dari buruh cuci, menjadi pesuruh kelurahan, hingga jualan gorengan keliling kampung dilakoninya demi membiayai kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Lia.

Lia yang sadar kenyataan itu akhirnya memilih untuk tak melanjutkan sekolah. Terlebih Ibunya mulai sering sakit-sakitan. Lia bertekad ingin membantu ibunya mencari nafkah, bahkan kalau perlu ibunya cukup duduk di rumah saja ongkang-ongkang. Mungkin sesekali mendengarkan radio, menonton televisi, atau bergosip dengan tetangga.

Sebenarnya Ibunya telah melarang Lia berkali-kali, tapi tekad Lia sudah bulat. Kalau sudah begitu tak ada lagi yang bisa menghalanginya.

Tiba-tiba sayup-sayup terdengar instrumen musik bambu. Ponsel Lia berbunyi memecah keheningan yang mulai membeku. Lia meraihnya dari atas meja kecil di dekatnya. Sebuah pesan pendek diterima dari perempuan tua yang sedari tadi mereka berdua bicarakan.

Nak, sdh jam 3 pagi, knpa blm pulang? Jgn bwt ibu khawatir. Pulanglah

Sesaat Lia tersenyum simpul, lalu menaruh ponselnya kembali tanpa membalas pesan pendek tersebut.

“Kalau kau benar-benar ingin tahu kabar Ibu, baru saja beliau mengirim pesan pendek. Beliau menyuruhku lekas pulang. Mungkin seperti biasa, beliau usai mendirikan shalat tahajud dan merapal doa-doa. Barangkali doa mengenai kematianmu yang mengenaskan, salah satunya.”

“Durhaka kau! Aku ini ayahmu.”

“Sudahlah, tak usah banyak bicara! Aku buru-buru mau pulang. Kenakan kembali pakaianmu! Aku sudah tak kuasa menahan rasa jijik menyaksikan tubuh rentamu. Taruh saja uangnya di meja! Aku mau membasuh diri dulu.”

Lia segera beranjak meninggalkan ranjang..

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Amelia at .

meta